Metabolisme Obat

Metabolisme Obat 

 Metabolisme merupakan perubahan secara biokimiawi/ kimiawi yang dilakukan oleh tubuh terhadap senyawa endogen. Metabolisme obat sering juga disebut dengan biotransformasi. Namun, keduanya juga sering dibedakan. Karena biotransformasi diartikan sebagai perubahan secara biokimiawi/ kimiawi yang dilakukan oleh tubuh terhadap senyawa eksogen (xenobiotika) (Nugroho, 2012). Metabolisme mempunyai tiga tujuan utama yaitu sebagai berikut: 
1. Menyediakan energi bagi fungsi tubuh dan pemeliharaan 
2. Memecah senyawa yang tercerna, misalnya katabolisme menjadi senyawa yang lebih sederhana dan biosintesis molekul yang lebih kompleks, misalnya anabolisme (biasanya membutuhkan energi) 3. Mengubah senyawa asing (obat) menjadi lebih polar, larut air dan terionisasi sehingga lebih mudah diekskresi 
(Nugroho, 2012).  

Metabolisme obat mempunyai efek penting yaitu sebagai berikut: 
1. Obat menjadi lebih hidrofilik, hal ini mempercepat ekskresinya melalui ginjal. Karena metabolit yang kurang larut lemak tidak mudah diabsorbsi dalam tubulus ginjal 
2. Metabolit umumnya kurang aktif daripada obat asalnya. Akan tetapi, tidak selalu seperti itu, kadang-kadang metabolit sama aktifnya (lebih aktif) daripada obat asli. Sebagai contoh, diazepam dimetabolisme menjadi oxazepam (bersifat aktif) 
(Neal, 2006). 

 Meskipun setiap jaringan mempunyai kemampuan untuk memetabolisme obat, namun hati adalah organ utama dari metabolisme obat. Jaringan-jarinagn lain yang menunjukkan aktivitas yang besar juga termasuk saluran cerna, paru, kulit dan ginjal. Setelah pemberian obat secara oral, banyak obat (misalnya isoproterenol, meperidine, morphine) diserap secara utuh dari usus kecil dan dibawa lebih dulu melalui sistem porta ke hati, dimana obat-obat mengalami metabolisme ekstensif. Proses ini telah dikenal dengan efek lintas pertama. Obat-obat tertentu yang diberikan secara oral jauh lebih banyak dimetabolisme di usus daripada di dalam hati. Jadi, metabolisme intestinal mungkin menambah efek lintas pertama secara keseluruhan. 

Efek-efek lintas pertama kemungkinan sangat membatasi bioavaibilitas obat-obat yang diberikan secara oral sehingga jalur-jalur pemberian alternatif harus digunakan untuk mencapai kadar terapeutik yang efektif dalam darah. Usus bagian bawah menampung mikroorganisme-mikroorganisme intestinal yang mampu melakukan reaksi metabolisme. Lagi pula, obat-obat mungkin dimetabolisme oleh asam lambung, oleh enzim pencernaan atau oleh enzim di dalam dinding usus (Katzung, 1995). 

 Sebagian besar obat diberikan secara oral sehingga ternyata usus juga mempunyai peran penting dalam proses metabolisme obat. Adanya flora bakteri normal di usus halus dan usus besar dapat memetabolisis obat dengan cara kerja yang sama dengan enzim-enzim mikrosom hati. Sejumlah konjugat glukuronida diketahui dikeluarkan oleh empedu ke usus. Di usus konjugat tersebut terhidrolisis oleh enzim β-glukuronidase menghasilkan obat bebas yang bersifat lipofil. Obat bebas ini diserap secara difusi pasif melalui dinding usus, masuk ke peredaran darah dan kembali ke hati. Di hati terjadi konjugasi kembali menghasilkan konjugat yang hidrofil, kemudian dikeluarkan lagi melalui empedu. Di usus konjugat terhidrolisis lagi, demikian seterusnya sehingga merupakan suatu siklus. Proses siklik ini disebut siklus enterohepatik. Konjugat obat yang tidak mengalami hidrolisis langsung diekskresikan melalui tinja (Siswandono & Bambang, 2011). 

 Metabolisme obat di hati terjadi pada membran retikulum endoplasma sel. Retikulum endoplasma terdiri dari dua tipe yang berbeda, baik bentuk maupun fungsinya. Tipe 1 mempunyai permukaan membran yang kasar, terdiri dari ribosom-ribosom yang tersusun secara khas dan berfungsi mengatur susunan genetik asam amino yang diperlukan untuk sintesis protein. Tipe 2 mempunyai permukaan membran yang halus dan tidak mengandung ribosom. Kedua tipe ini merupakan tempat enzim-enzim yang diperlukan untuk metabolisme obat (Siswandono & Bambang, 2011). 

Faktor yang mempengaruhi kecepatan metabolisme obat yaitu sebagai berikut: 
1. Konsentrasi 
Kecepatan metabolisme obat akan bertambah bila konsentrasi obat tersebut meningkat. Jika kondisi ini tetap berlangsung maka akan tercapai kecepatan metabolisme yang konstan (Siswandono & Bambang, 2011). 
2. Fungsi hati 
Jika terdapat gangguan fungsi hati maka metabolisme dapat berlangsung lebih cepat atau lebih lambat. Sehingga efek obat akan lebih lemah atau lebih kuat (Siswandono & Bambang, 2011). 
3. Usia Bayi dalam kandungan dan bayi yang baru lahir 
jumlah enzim-enzim mikrosom hepar yang diperlukan untuk metabolisme obat relatif masih sedikit sehingga sangat peka terhadap obat. 

Contoh pengaruh usia terhadap metabolisme obat yaitu sebagai berikut: 
a. Tolbutamid, pada bayi yang baru lahir mempunyai waktu paro ± 40 jam, sedangkan pada orang dewasa ± 8 jam. Hal ini disebabkan kemampuan bayi untuk metabolisme oksidatif masih rendah 
b. Kloramfenikol, pada bayi yang baru lahir dapat menimbulkan sindrom bayi kelabu. Hal ini disebabkan bayi mengandung enzim glukuronil transferase dalam jumlah yang relatif sedikit, sehingga kemampuan memetabolisme kloramfenikol rendah, akibatnya terjadi penumpukan obat pada jaringan dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan (Siswandono & Bambang, 2011). 

4. Faktor genetis 
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang terjadi dalam sistem kehidupan. Hal ini meunjukkan bahwa faktor genetik ikut berperan terhadap adanya perbedaan kecepatan metabolisme obat. Contoh: metabolisme isoniazid, suatu obat antituberkolosis. Studi terhadap kecepatan asetilasi isoniazid (N-asetilasi) menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan asetilasi dari masing-masing individu berdasarkan faktor genetiknya. Ada 2 tipe yaitu tipe asetilator cepat dan asetilator lambat. Aktivitas dari obat INH sebagai antituberkolosis ini sangat tergantung pada tingkat kecepatan reaksi asetilasinya. Bagi orang barat (Amerika dan Eropa) 50% dari penduduknya ternyata tergolong asetilator lambat, sedangkan untuk orang Jepang dan Eskimo sebagian besar tergolong asetilator cepat. Untuk individu yang memiliki tipe asetilator cepat, memiliki enzim N-asetiltransferase yang jauh lebih besar daripada individu yang memiliki tipe asetilator lambat. Dengan demikian, kemampuan untuk isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetil isoniazid yang bersifat tidak aktif sangat cepat. Sehingga obat akan memiliki masa kerja (t ½) yang pendek, yaitu 45-80 menit. Dengan demikian, maka individu tipe asetilator cepat memerlukan dosis pengobatan yang lebih besar. Sedangkan pada tipe asetilator lambat, isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetil isoniazid yang bersifat tidak aktif berlangsung lambat. Sehingga INH akan memiliki masa kerja (t½) yang panjang yaitu 140-200 menit. Dengan demikian, maka individu tipe asetilator lambat, memerlukan dosis pengobatan yang rendah, agar tidak menimbulkan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH (Siswandono & Bambang, 2011). 

 5. Penghambatan enzim metabolisme Pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu senyawa yang menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat meningkatkan intensitas efek obat, memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan juga meningkatkan efek samping dan toksisitas. Contoh obat yaitu sebagai berikut: 
a. Dikumarol, kloramfenikol, sulfonamida dan fenilbutazon, dapat menghambat enzim-enzim yang memetabolisis tolbutamid dan klorpropamid, sehingga menyebabkan kenaikan respon glikemi 
b. Dikumarol, kloramfenikol dan isoniazid, dapat menghambat enzim metabolisme dari fenitoin, sulfonamida, sikloserin dan para aminosalisilat, sehingga kadar obat dalam serum darah meningkat dan meningkat pula toksisitasnya 
c. Fenilbutazon, secara stereoselektif dapat menghambat metabolisme (S)-warfarin, sehingga meningkatkan aktivitas antikoagulannya. Bila terjadi luka, maka terjadi perdarahan yang hebat (Siswandono & Bambang, 2011). 

6. Induksi enzim metabolisme Pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu senyawa dapat meningkatkan kecepatan metabolisme obat dan memperpendek masa kerja obat. Hal ini disebabkan senyawa tersebut dapat meningkatkan aktivitas atau jumlah enzim metabolisme bukan karena perubahan permeabilitas mikrosom atau oleh adanya reaksi penghambatan. Peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentu atau proses induksi enzim dapat mempercepat proses metabolisme dan menurunkan kadar obat bebas dalam plasma sehingga efek farmakologis obat menurun dan masa kerjanya menjadi lebih singkat (Siswandono & Bambang, 2011). 

 Reaksi metabolisme obat ada dua fase yaitu sebagai berikut: 
1. Reaksi fase I (reaksi fungsional) 
Reaksi fase I meliputi oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Reaksi-reaksi fase I berfungsi untuk mengubah molekul lipofilik menjadi molekul yang lebih polar. Dilakukan dengan cara memasukkan gugus fungsional tertentu yang bersifat polar, seperti OH, COOH, NH2 dan SH ke struktur molekul senyawa (Katzung, 1997). Hal ini dapat dicapai dengan cara berikut:
 a. Secara langsung memasukkan gugus fungsional, contoh: hidroksilasi senyawa aromatik dan alifatik 
b. Memodifikasi gugus-gugus fungsional yang ada dalam struktur molekul, contoh: reduksi gugus keton atau aldehid menjadi alkohol, oksidasi alkohol menjadi asam karboksilat, hidrolisis ester dan amida yang menghasilkan gugus COOH, OH dan NH2 , reduksi senyawa azo dan nitro menjadi gugus NH2 , dealkilasi oksidatif dari atom N, O dan S menghasilkan gugus-gugus NH2, OH dan SH (Siswandono & Bambang, 2011). Kalau metabolit-metabolit fase I cukup polar, maka metabolit-metabolit tersebut kemungkinan mudah diekskresikan. Namun, banyak produk-produk fase I tidak segera dieliminasi dan mengalami reaksi berikutnya dimana suatu substrat endogen seperti glucuronic acid, sulfuric acid, acetic acid atau amino acid bergabung dengan gugusan fungsional yang baru terjadi dan membentuk konjugat yang sangat polar (mengalami metabolisme fase II) (Katzung, 2001). 

2. Reaksi fase II (reaksi konjugasi) 
Reaksi fase II meliputi reaksi konjugasi, metilasi dan asetilasi. Konjugasi obat dianggap inaktivasi obat yang terakhir dan dipandang sebagai reaksi “detoksifikasi yang sesungguhnya”. Namun, sekarang harus disesuaikan karena diketahui ada reaksi-reakis konjugasi tertentu (asil glukoronidasi obat-obat antiinflamasi nonsteroid, O-sulfasi dari N-hidroksiasetilaminofloren dan N-asetilasi dari isoniazid) bisa membentuk senyawa-senyawa yang reaktif yang menyebabkan efek hepatoksisitas obat (Katzung, 1998). Tujuan reaksi ini adalah mengikat gugus fungsional hasil metabolit reaksi fase I dengan senyawa endogen yang mudah terionisasi dan bersifat polar, seperti asam glukuronat, sulfat, glisin dan glutamin menghasilkan konjugat yang mudah larut dalam air. Selain itu, senyawa induk yang sudah mengandung gugus fungsional, seperti OH, COOH dan NH2 secara langsung terkonjugasi oleh enzim-enzim fase II. Konjugasi dengan glutation atau asam merkapturat bertujuan melindungi tubuh dari senyawa atau metabolit reaktif yang bersifat toksik. Hasil konjugasi yang terbentuk (konjugat) kehilangan aktivitas dan toksisitasnya dan kemudian diekskresikan melalui urin. Reaksi metilasi dan asetilasi bertujuan membuat senyawa menjadi tidak aktif (Siswandono & Bambang, 2011). Jalur umum metabolisme pada fase I dan II, dapat diringkaskan dengan reaksi-reaksi sebagai berikut: 1. 

Parasetamol merupakan obat analgesik dan antipiretik yang apabila digunakan pada dosis berlebihan atau dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan efek toksik pada hepar. Ketika pemakaian parasetamol melebihi batas terapi, jalur glukoronidasi dan sulfatasi menjadi jenuh dan jalur oksidasi sitokrom P-450 menjadi meningkat. Akibatnya NAPQI (N-acetyl-pbenzoquinone imine) yang merupakan metabolit toksik dari parasetamol dapat bertahan dengan makromolekul protein sel hepar secara tidak dapat balik sehingga terjadi kematian sel atau nekrosis sel hepar (Maysara & Sapto, 2011). Likopen sebagai antioksidan nonenzimatis, secara signifikan dapat menurunkan enzim fase I seperti cytochrome p-450 dependent enzymes dan meningkatkan enzim detoksifikasi fase II seperti hepatic quinone reductase Enzim-enzim metabolisme ini penting dalam penghilangan substansi asing dan karsinogen dari dalam tubuh. Enzim tersebut akan mendetoksifikasi senyawa-senyawa elektrofilik yang dapat berikatan kovalen dengan protein maupun asam nukleat sehingga kerusakan sel dan inisiasi terjadinya mutasi dapat dicegah (Maysara & Sapto, 2011). 

DAFTAR PUSTAKA 

 Katzung, B. G. 1995. Basic & Clinical Pharmacology Sixth Edition. Prentice Hall International, London.  

Katzung, B. G. 1997. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi II. Widya Medika, Jakarta. 

 Katzung, B. G. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi III. EGC, Jakarta. 

 Katzung, B. G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi I. Salemba Medika, Jakarta. 

 Katzung, B. G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VI. EGC, Jakarta. 

 Maysar, R & Y. Sapto. 2011. Efek Likopen Terhadap Tikus Putih Galur SD yang Diinduksi Parasetamol dengan Melihat Aktivitas SGPT dalam Darah. Jurnal Ilmiah Kefarmasian. 1 (2): 23-33.

 Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi Edisi V. ITB, Bandung. 

 Neal, M. J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis Edisi V. Erlangga, Jakarta. 

 Nugroho, A. E. 2012. Prinsip aksi & Nasib Obat Dalam Tubuh. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

 Siswandono & S. Bambang. 2011. Kimia Medisinal. Airlangga University Press, Surabaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Praktikum DETEKSI MIKROBIOTA NORMAL

Sediaan eliksir

IDENTIFIKASI MAKROSKOPIK DAN MIKROSKOPIK